BLORA, INFODESAKU – Sampah telah menjadi masalah baru bukan hanya dalam level sosial dan lingkungan, tetapi telah menggerogoti mentalitas masyarakat. Fakta tersebut dapat dijumpai di sebelah utara jembatan Pakis Kecamatan Blora.
Di kiri kanan jalan sampah menumpuk menimbulkan bau busuk, menyengat dan pemandangan tidak sedap. Padahal telah dipasang poster larangan membuang sampah oleh DPUK Blora dan disediakan bank sampah tetapi masyarakat tetap membuang sampah dengan seenaknya.
Yang lebih ironi sebenarnya lokasi pembuangan sampah tersebut merupakan hak milik pribadi. Fakta ini sesungguhnya menunjukkan degradasi solidaritas sosial oleh tumbuhnya sikap individualistik yang melibatkan sejumlah besar anggota masyarakat.
Syamsuri salah satu warga Desa Ngampon yang bekerja sebagai pemulung dan setiap harinya mengais rejeki dari tumpukan sampah-sampah tersebut, Ia menyampaikan bahwa sampah lokasi sebelah jembatan pakis sudah bertahun-tahun adanya dan dari pihak pemerintah menyediakan bank sampah dilokasi.
“Warga masyarakat sudah terbiasa membuang sampah disini, dari pemerintahpun juga sudah menyediakan satu (1) bank sampah ini,” ujarnya saat ditemui, Rabu (9/1).
Senada disampaikan Sarno dilokasi, tiap harinya ia mengetahui warga-warga yang lewat di jalan tersebut juga banyak membuang sampah disini.
‘”Sampah-sampah itu biasanya dibuang pagi hari sehabis subuh. Atau sambil naik kendaraan sampah dilempar begitu saja” tuturnya saat di tanya.
Jika melihat kondisi sebelah utara jembatan Pakis, akan terlihat jelas upaya dinas terkait belum bisa memupuk dan membangun kesadaran masyarakat kendatipun dibuatkan bank sampah.
Nampak awal tahun 2019 ini, banyaknya masyarakat Blora yang terkena Demam berdarah, salah satu sebab utamanya adalah mentalitas masyarakat yang suka membuang sampah berceceran layaknya seperti di lokasi sebelah utara jembatan Pakis Blora.
Dalam terminologi pengendalian sosial, peristiwa tersebut menunjukkan mewabahnya penyakit sosial karena sejumlah norma yang dilanggar oleh masyarakat.
Pertama, norma kepatuhan pada pemerintah. Larangan membuang sampah jelas terpasang tetapi larangan itu seperti tidak punya taji dan kewibawaan karena masih tetap dilanggar.
Kedua, atas pelarangan tersebut pemerintah masih menoleransi dengan menempatkan bak penampungan sampah. Kenyataannya masyarakat justru lebih banyak membuang sampahnya tidak di bak tersebut.
Ketiga, lokasi pembuangan sampah tersebut informasi yang dihimpun wartawan adalah tanah milik pribadi. Tetapi tetap saja diabaikan sehingga pemilik tanah jelas dirugikan.
Sebagai contoh kecil rusaknya beberapa pohon jati sehingga secara ekonomis jelas merugikan. Belum lagi kerugian dengan jatuhnya nilai jual tanah di sekitar sampah tersebut.
Berbagai lapis pelanggaran inilah sebagai penanda degradasi mentalitas masyarakat dalam konteks menurunnya solidaritas sosial. Sampah telah bergeser menjadi beban diranah domestik atau rumah tangga menjadi beban sosial.
Ketika dalam ranah domestik tidak mampu diatasi maka masyarakat membutuhkan ruang lain untuk melepaskan diri dari beban tersebut.
Maka jadilah lokasi di utara jembatan pakis menjadi destinasi baru untuk menyehatkan beban domestik yang tidak teratasi. Betapa mereka begitu lega dan ketagihan untuk terus melepaskan dari beban sampah yang tidak teratasi.
Dengan mengabaikan kepentingan pemilik tanah, pengguna jalan dan program pemerintah daerah untuk menciptakan lingkungan yang bersih dan sehat. Jalan di utara jembatan Pakis telah menjadi destinasi rumah tangga-rumah tangga yang terhimpit masalah sampah domestiknya tetapi tidak mampu menyelesaikannya.
Hajat lingkungan rumah yang bersih dan sehat ditempuh dengan melarikan diri dari tekanan sampahnya sendiri dengan bersuka cita dengan melepaskan beban tersebut di tempat lain. Jadilah jalan di utara jembatan Pakis sebagai destinasi untuk merasakan kelegaan dapat keluar dari tekanan sampah dengan gratis. Sebuah cerita satire menandai menguatnya sifat egois dan individualis.
Laporan : INDES JATENG/ ADIRIN