Penyelesaian Sengketa Prayudisial dalam Kasus Konkrit by Dr. Irman Jaya, S.H., M.H

JAKARTA, INFODESAKU – Dr. Irman Jaya, S.H., M.H merupakan Pakar Hukum Tata Negara dan juga Menjabat sebagai Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Painan, berikut pandangan hukumnya didalam penyelesaian Sengketa Prayudisial yang sering terjadi di dalam Praktik Hukum

prejudicial geschill merupakan sengketa pengadilan yang timbul dari sengketa yang diperiksa di mana pengadilan yang sedang memeriksa tidak berwenang untuk memutus perkara yang baru timbul tersebut, sehingga diperlukan pengadilan lain yang berwenang terlebih dahulu. Terjadi ketika pengadilan pidana sedang berjalan diperlukan adanya penetapan dari pengadilan perdata. Sehingga ditempuh terlebih dahulu pengadilan
perdata.

Dalam perkembangan selanjutnya, untuk meneguhkan konsepsi penyelesaian
sengketa prayudisal, Mahkmah Agung mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung yang selanjutnya disebut SEMA Nomor 4 tahun 1980 yang membagi prejudicial geschill ke dalam dua hal : Pertama, prejudicial au action, yaitu perbuatan pidana tertentu yang masuk dalam kategori Pasal 84 dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP, dimana disebutkan ketentuan perdata
diputus terlebih dahulu sebelum mempertimbangkan penuntutan pidana.
Kedua, question prejudicial au jugement yaitu keadaan yang menyangkut
permasalahan yang diatur dalam Pasal 81 KUHP, dimana Pasal dalam SEMA
tersebut sekedar memberikan kewenangan bukan kewajiban kepada hakim pidana
untuk menangguhkan pemeriksaan menunggu adanya putusan hakim perdata
mengenai persengketaan. Lebih lanjut, jika hakim hendak menggunakan instrument
ini, maka hakim pidana tetap tidak terikat pada putusan hakim perdata yang
bersangkutan Ketentuan mengenai prejudicial geschill tidak dapat dibenturkan dengan keberadaan asas nebis in idem, karena kedua hal tersebut merupakan subjek yang berbeda satu dengan yang lainnya. Dalam sistem peradilan pidana, syarat pokok
suatu perkara dikatakan sebagai nebis in idem adalah apabila perbuatan (dalam
suatu tindak pidana ) telah diputus dengan putusan inkracht. Terhadap putusan tersebut tidak boleh dituntut kedua kalinya. Tujuan dan latar belakang dibentuknya ketentuan ini adalah untuk memberikan kepastian dan keadilan hukum, dimana terdakwa yang sudah diputus dengan putusan tetap tidak boleh secara terus menerus dilakukan penuntutan terhadapnya. Sementara adanya perselisihan prayudisial adalah masalah menghentikan sementara penuntutan oleh hakim dalam siding pengadilan dengan alasan adanya perselisihan prayudisial dengan perkara lain yang bisa terjadi dalam hal ada hubungannya dengan perkara lain (pidana atau perdata) yang sudah terlebih dahulu diperiksa namun belum diputus. Sifat hubungan kedua perkara sekedar hanya mempengaruhi, tidak bersifat menutup hak penuntutan bagi perkara pidana. Namun berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung RI No 1 tahun 1956, dalam hal perselisihan prayudisal dengan perkara perdata hakim tidak terikat pada putusan perkara perdata tersebut.Perbedaan yang kompleks antara perkara prayudisial dengan nebis in idem
menjadikan dua hal tersebut tidak dapat dicampuradukkan satu dengan yang
lainnya. Keduanya memiliki kedudukan dan porsi yang berbeda dalam sistem
peradilan pidana di Indonesia. Sehingga kedepan perkara yang masuk dalam
kategori sengketa prayudisial tidak dapat ditabrakkan dengan dalih adanya nebis in idem dalam pelaksanaan peradilan.

Hubungan timbal balik antara perkara pidana dan perkara perdata menjadikan
sengketa prayudisal sulit dihindarkan untuk kasus-kasus hukum yang terkait dengan keduanya. Adakalanya objek perkara yang menjadi dasar pengaduan dalam peradilan pidana merupakan objek sengketa dalam perkara perdata yang menuntut untuk diselesaikan terlebih dahulu. Sehingga guna mendapatkan keputusan yang dapat menjamin kepastian dan keadilan hukumnya, sangat penting untuk memperhatikan apakah objek perkara merupakan sesuatu yang bebas dari persengketaan atau sebaliknya. Dalam perjalanan hukum pidana maupun perdata di Indonesia, terdapat sejumlah fenomena hukum yang memerlukan penyelesaian
sengketa prayudisal.

Berikut beberapa putusan yang dikeluarkan berkaitan dengan penyelesaian sengketa prayudisial :
A. Putusan Mahkamah Agung No 413K/Kr/1980, tanggal 26 Agustus 1980
Pertimbangan hakim dalam Putusan Mahkamah Agung No 413K/Kr/1980,
tanggal 26 Agustus 1980, apabila yang dimaksud oleh penuntut kasasi atau
terdakwa adalah “question prejudicial au judgement” seperti dinyatakan
dalam Pasal 81 KUHP maka hal tersebut sekedar memberi kewenangan
dalam perkara pidana ini, kewenangan tersebut tidak dipergunakan oleh
hakim dan bukan memberikan kewajiban hukum kepada hakim untuk
menunggu putusan dari hakim perdata mengenai persengketaannya,
menangguhkan penuntutan yang sedang diperiksa sambil menunggu putusan
perdata; bahwa selanjutnya hakim berdasarkan atas Peraturan Mahakmah
Agung No 1 Tahun 1956, tidak terikat oleh suatu putusan perkara perdata
tentang adanya atau tidak adanya suatu hak perdata dan dengan demikian
hakim pidana diberikan kebebasan untuk mengikuti atau tidak putusan dalam
perkara perdata yang memiliki sangkut paut dengan perkara pidana

B. Putusan Mahkamah Agung No.129K/Kr/1979 tanggal 16 April 1980
Abstraksi dalam putusan tersebut menyatakan : karena pemeriksaan di
pengadilan negeri telah berlanjut dan terbentur pada prejudicial geschill
tentang hak milik atas tanah, maka tidak dapat diberi putusan berupa tidak
dapat diterima tuntutan, ataupun putusan berupa lepas dari segala tuntutan hukum. Dan yang seharusnya ditempuh adalah : 1) menunda siding sampai
hakim perdata menentukan siapa yang berhak atas tanah tersebut dengan
memberi waktu tertentu kepada terdakwa untuk mengajukan gugatan
terdakwa atau; 2) perkara langsung diputus oleh hakim pidana berdasarkan
bukti-bukti dalam pemeriksaan pidana.

C. Putusan Mahkamah Agung No.628K/Pid/1984 tanggal 22 Juli 1985
Mahkamah Agung dalam putusannya menyebutkan : Pengadilan tinggi
sebelum memutus pokok perkara ini harusnya menunggu dulu putusan
pengadilan yang akan memutuskan status pemilikan tanah dan rumah
tersebut memiliki kekuatan hukum pasti. Dalam amar putusan tersebut
disebutkan : memerintahkan pengadilan tinggi Bandung membuka kembali
persidangan dan memeriksa serta memutus pokok perkara ini sesudah
putusan pengadilan dalam perkara perdata yang akan menentukan status
kepemilikan tanah HGB No.197/Penaragan terletak di Jalan Merdeka No.
11A Bogor mempunyai kekuatan pasti.

D. Fenomena hukum yang terjadi pada tanggal 8 Juni 2017 antara PT Gudang
Garam dengan mitra bisnisnya yaitu Dadang Heri Susanto yang diawali
dengan perjanjain sewa tanah seluas 14 hektar milik perusahaan rokok
tersebut. Berangkat dari permasalahan tersebut Dadang Heri Susanto dijerat
Pasal 385 KUHP tentang sewa menyewa oleh kepolisian, dalam perkara ini
maka yang diselesaikan terlebih dahulu adalah perjanjian sewa tanahnya
setelah terbukti barulah hakim melanjutkan perkara pidananya.

E. Putusan Pengadilan Negeri Nganjuk Nomor 09/Pid.B/2012/PN.Ngjk bahwa
terdakwa Kasmin menyuruh orang untuk mengambil buah mangga gadung di pekarangan milik sdr. Yati tetapi kemudian perkara ini tidak hanya mengenai perkara pidana yang dakwaannya diancam Pasal 362 KUHP tentang
pencurian namun juga sebelumnya sudah terlebih dahulu masuk dalam
sengketa perdata antara terdakwa dengan sdr. Yati mengenai perebutan hak
milik atas pekarangan tersebut dan belum diputus sampai proses persidangan
perkara pidana berjalan. Berdasarkan hal tersebut dalam putusannya hakim menyatakan bahwa dakwaan yang diajukan oleh Jaksa dinyatakan premature
dikarenakan sengketa mengenai hak milik tanah pekarangan tersebut masih
berjalan. Meskipun telah banyak yurisprudensi tentang penyelesaian sengketa prayudisial, namun rupanya ketentuan dalam PERMA No 1 tahun 1956 tentang Hubungan antara Perkara Perdata dan Perkara Pidana masih sering disalahartikan. Alih-alih menterjemahkan dengan benar peraturan tersebut, ketentuan yang termaktub dalam PERMA justru dijadikan dasar penyidik untuk menangguhkan suatu proses penyidikan perkara pidana berkaitan denagn objek tanah. PERMA merupakan peraturan pelaksana undang-undang yang bersifat internal, artinya ketentuan dalam PERMA hanya ditujukan kepada pengadilan bukan kepada penyidik. Oleh karena itu, dalam hal sedang terdapat proses perkara perdata dalam suatu kasus, haka hal tersebut tidak mengurangi kewenangan penyidik Polri untuk menerima laporan pidana dan menindak lanjutinya. Sehingga perlu di garis bawahi bahwa PERMA dan SEMA hanya mengatur internal Pengadilan dan Hakim, sedangkan pelaksanaan Tugas dan Kewenangan Polri sebagai penyidik diatur dalam Undang-Undang No 2 tahun 2002 tentang Kepolisian.Pada dasarnya penyidik merupakan gerbang terdepan pada proses penegakan hukum pidana di Indonesia. Sebelum melanjutkan atau menentukan dugaan perkara tindak pidana yang didalamnya terdapat anasir atau unsur perdata, sudah sewajarnya terlebih dahulu mengkaji secara mendalam tentang semua hal terkait fakta-fakta hukum yang dilaporkan tersebut sehingga memberikan keadilan bagi semua pihak.Setiap masyarakat pencari keadilan memiliki hak untuk secepatnya mendapatkan keadilan melalui sistem peradilan. Segala hal yang terkait dengan objek perkara harus diselesaikan terlebih dahulu untuk dapat memberikan keadilan dan kepastian hukum. Disamping itu, hakim yang berkedudukan sebagi penanggngjawab dalam proses persidangan memiliki hak untuk senantiasa bertindak secara independen dan imparsial. Sehingga kebebasan hakim dalam memutus perkara tidak boleh terciderai dengan adanya paksaan untuk terikat terhadap putusan hakim yang terkait dengan perkara yang diadili.
Esensinya Hubungan timbal balik antara perkara perdata dan perkara pidana acapkali menimbulkan gesekan antara keduanya. Gesekan tersebut mengakibatkan
tercampurnya perkara pidana dan perkara perdata dalam satu objek perkara.
Sehingga dibutuhkan penyelesaian yang tepat untuk dapat menghindari ambiguitas
dalam penegakan hukumnya. Maka dari itu, menjadi penting bagi para penyidik
untuk memastikan apakah perkara tindak pidana yang sedang diperiksa memiliki objek perkara yang mengandung anasir-anasir persengketaan dalam ranah perdata. Ketika ditemukan persengketaan dalam objek perkara, maka persengketaan tersebut harus diselesaikan tanpa penangguhan pemeriksaan oleh penyidik. Karena perintah penangguhan ditujukan kepada hakim dalam memeriksa perkara bukan kepada penyidik yang melakukan pemeriksaan permulaan. Oleh karenanya, dalam pelaksanaan penyelesaian perselisihan prayudisal, sangat penting untuk dapat memahami secara komprehensif ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Perundang-undangan, sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman yang akan berakibat pada lambatnya proses pemenuhan keadilan bagi masyarakat pencari keadilan.

Laporan : Faizal

Related posts

Melalui Musdes Tim Penyusun RKP Desa Mulai Dibentuk

Satu lagi Posyandu Diresmikan Kades Cimandala

Delapan Fraksi DPRD Lampung Selatan Setujui 4 Paket Raperda Jadi Perda