Law Firm DSW & Partner mengomentari Pasal 31 UU Advokat yang dihapus oleh Mahkamah Konstitusi

JAKARTA, INFODESAKU – UU Advokat tidak boleh dimaksudkan sebagai sarana legalisasi dan legitimasi yang boleh tampil di depan pengadilan hanya advokat karena hal demikian haruslah diatur dalam hukum acara, padahal hukum acara yang berlaku saat ini tidak atau belum mewajibkan pihak-pihak yang berperkara untuk tampil dengan menggunakan pengacara (verplichte procureurstelling).

Cuplikan putusan MK No 006/PUU-II/2004
Pada 5 April 2003, UU No 18 Tahun tahun 2003 tentang Advokat (UUA) resmi berlaku.

Advokat se Indonesia berbangga sebab setelah 56 tahun berdiri “organisasi advokat” baru memiliki undang-undang sendiri—perjuangan Advokat telah ada sejak era Belanda, Jepang, Orde Lama, Orde Baru hingga reformasi.

Namun, Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum (LKPH) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) terkena dampak atas berlakunya pasal 31 UUA.

Sejak berlakunya UUA, peran advokasi dari LKPH menjadi vakum, tak memungkinkan lagi menjalankan secara regular dan professional. Sebab, aktifitas LKPH dapat ditafsirkan sebagai kegiatan “seolah-olah menyerupai profesi Advokat”. Selain itu, tak ada institusi yang ditunjuk secara eksplisit oleh UUA yang memberi legitimasi kepada perguruan tinggi hukum untuk memberikan bantuan hukum bagi masyarakat kurang mampu.

Seorang pemerhati kebijakan Hukum dan Publik, ahli Hukum Pidana. Dr. Dwi Seno Wijanaeko, SH., MH yang juga Founder Law Firm DSW & Partner berpendapat mengenai penghapusan pasal tersebut oleh Mahkamah Konstitusi.yaitu pada pasal 31 UU A bahwa

” rumusan Pasal 31 adalah ketentuan universal yang dianut dan menjadi materi dari suatu Undang-undang profesi, karena suatu pekerjaan tidak dapat dilakukan oleh bukan profesi. Kalau dilakukan oleh bukan profesi dapat merugikan kepentingan masyarakat mencari keadilan. Sebagai perbandingan profesi Dokter tidak dapat dilakukan oleh orang yang bukan Dokter, begitu pula profesi-profesi lainnya misalnya penegak hukum, Jaksa, Hakim, Polisi tidak bisa dilakukan oleh yang bukan hakim, yang bukan Jaksa yang bukan polisi. Esensi penghapusan pasal 31 sejatinya agar melindungi Marwah pengacara dalam beracara di pengadilan, serta penghapusan paralegal, asisten pengacara untuk beracara di pengadilan. Hal ini memberikan kepastian hukum untuk profesi Advokat. Bahwa yang berhak membela kepentingan hukum klien di pengadilan hanya lah advokat yang telah di sumpah atau memiliki licensi
Utk. Beracara di pengadilan.” Jelas Dr. Seno. Seirama dengan Ahli Pidana, pengacara senior Advokat Achmad Cholifah Alami Biasa disapa pengacara Alam, SH. Orang Mauk Tangerang mengomentari bahwa menurutnya “. Permasalahan boleh atau tidak boleh seorang yang bukan advokat mendapampingi klien merupakan hak bagi pecinta keadilan baik yang berwajah LBH maupun LSM atau organisasi Masyarakat.

Bahwasanya banyak ragam bagi pencinta keadilan yang menjadi sebab utama menginginkan mereka membantu masyarakat yang kurang mampu, itu adalah hak dan kewajiban bagi suatu negara menjamin keberadaan mereka pencinta keadilan karena dijamin oleh UUD 1945 yaitu menurut Pasal 28F UUD 1945 setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Lalu pertanyaan kita apakah seseorang atau lembaga bantuan Hukum dan Organisasi masyarakat diperbolehkan dalam membantu perananya bagi orang mencari keadilan , tentu diperbolehkan karena mereka para pencari keadilan mencari sumber tentang keadilan.

Dengan adanya dihapuskan pasal 31 UU advokat peranan advokat tetap menjalankan profesinya didalam pengadilan dan diluar pengadilan legal jika seseorang atau lembaga bantuan hukum atau organisasi masyarakat membantu para pencari keadilan. Seseuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-II/2004 Tahun 2004 Putusan MK 006/2004 menyatakan bahwa Pasal 31 UU Advokat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Untuk pendampingan pada urusan keperdataan lembaga atau organisasi masyarakat dapat beracara dengan Kuasa berdasarkan Pasal 118 Het Herziene Indonesisch Reglemen/Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (HIR) gugatan dapat dimasukkan oleh penggugat atau kuasa hukumnya. Jadi, apabila seseorang ingin beracara di peradilan perdata, ia tidak harus mewakilkan kepada advokat.

Maka Non Advokat Sebagai Penerima Kuasa atau Seorang bukan advokat yang dapat menerima kuasa dan bersidang pada persidangan perdata, pengadilan agama, dan Tata Usaha Negara adalah:

1. Jaksa (sebagai pengacara negara)
2. Lembaga Swadaya Masyarakat (lingkungan hidup)
3. Biro hukum (Instansi pemerintah, badan atau lembaga negara, Badan Usaha Milik Negara/BUMN, Tentara Nasional Indonesia/TNI, dan Kepolisian RI/Polri)
4. Serikat Buruh (Pengadilan Hubungan Industrial)
5. Keluarga dekat (kuasa insidentil). “Jelas adv. Alam

Laporan : (Red)

Related posts

Ini Penjelasan Ibu Tuti Selaku Penjual Tanah seluas 4.173 M³ Yang di Klaim Warga

Peringati Hari Kebangkitan Nasional, Camat Bilang Begini

Pemdes Bantar Jati Bersama Masyarakat Laksanakan BBGRM XX 2023 di Dua Titik