Kesehatan Reproduksi Perempuan Dalam Kasus Pernikahan Dini dan Dampaknya Bagi Generasi Penerus

Penulis : Christy Imelda Margaretha Mudrikah dokter umum Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Kesehatan Universitas Islam Bandung 2022

Kesehatan Reproduksi menurut Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan adalah merupakan keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi pada laki-laki dan perempuan. Ruang lingkup pelayanan kesehatan reproduksi menurut International Conference Population and Development (ICPD) tahun 1994 di Kairo terdiri dari kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, pencegahan dan penanganan infeksi menular seksual termasuk HIV/AIDS, kesehatan reproduksi remaja, pencegahan dan penanganan komplikasi aborsi, pencegahan dan penanganan infertilitas, kesehatan reproduksi usia lanjut, deteksi dini kanker saluran reproduksi serta kesehatan reproduksi lainnya. Proses reproduksi terjadi melalui hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan yang menuju pada peningkatan kualitas hidup dan relasi antar individu. Kesehatan reproduksi merupakan hal yang penting, hal ini dikarenakan berdampak pada kualitas hidup seseorang pada generasi berikutnya.

Dalam UU RI No. 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan disebutkan bahwa Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun. Namun fakta di lapangan masih terdapat yang melakukan pernikahan dibawah umur. Terdapat beberapa faktor yang menjadi pemicu terjadinya pernikahan dini seperti faktor ekonomi dimana orang tua tidak mampu untuk membiayai sekolah sehingga mereka menikahkan anaknya yang masih dibawah umur, lalu faktor pendidikan yang masih rendah yang membuat para orang tua berpikir jika kodrat perempuan adalah mengurus rumah tangga dan tidak perlu mendapatkan pendidikan yang tinggi sehingga ketika anak mereka sudah memasuki usia remaja mereka melakukan pernikahan terhadap anaknya, selain itu tradisi budaya setempat seperti perjodohan juga hal yang memicu terjadinya kasus pernikahan dini, dan faktor selanjutnya adalah seks bebas pada remaja yang menyebabkan kehamilan diluar pernikahan sehingga terjadi pernikahan dibawah umur.

Pernikahan merupakan sesuatu yang sakral yang diimpikan oleh seluruh umat manusia untuk mendapatkan kehidupan rumah tangga yang sakinah mawadah warohmah dan mendapatkan keturunan yang dapat menjadi penerus di dalam keluarga nya. Namun bagaimana jika pernikahan tersebut terjadi bukan karena keinginan sendiri melainkan karena keadaan yang memaksa mereka melakukan pernikahan tersebut bahkan pernikahan terjadi terlalu dini?

Dalam Pasal 72 UU N0 36 Tahun 2009 disebutkan bahwa : Setiap orang berhak menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman, serta bebas dari paksaan dan/atau kekerasan dengan pasangan yang sah. Ini berarti pernikahan seharusnya terjadi karena keinginan individu tersebut, bukan karena paksaan dan di waktu yang sudah tepat agar terjadi kehidupan reproduksi yang sehat. Karena ketika terjadi pernikahan di usia dini, sangat berpengaruh terhadap kesehatan reproduksi. Belum matangnya organ reproduksi dan juga kematangan fisik dari seorang remaja perempuan juga akan berpengaruh terhadap resiko jika seorang remaja perempuan tersebut mengandung anaknya. Resiko anemia dan kekurangan gizi kronis ketika hamil dan pada saat nifas, resiko kematian pada saat melahirkan, lalu kemungkinan terjadinya kecacatan pada anak, kelahiran prematur, berat badan lahir yang rendah pada bayi, bahkan resiko terhambatnya pertumbuhan serta perkembangan sang anak juga dapat timbul ketika pernikahan usia dini terjadi. Kematangan psikologis yang belum matang dan stabil pada usia remaja juga beresiko terhadap kekerasan dalam rumah tangga, stress, depresi hingga perceraian.

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya kasus pernikahan dini seperti yang sudah tercantum dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi yaitu dengan adanya pelayanan kesehatan reproduksi remaja. Kegiatan ini dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan bekerja sama dengan sekolah-sekolah di wilayah setempat. Pelayanan kesehatan reproduksi remaja dapat dilaksanakan melalui pemberian komunikasi, informasi, edukasi, konseling, dan pelayanan klinis medis. Para guru pun di sekolah dapat memberikan edukasi mengenai dampak seks bebas dan pernikahan dini kepada para siswanya. Peran orang tua dalam membimbing anak khususnya diusia remaja merupakan hal yang terpenting terutama dalam pendidikan agama, bahwa agama melarang untuk melakukan seks diluar pernikahan. Selain itu, pemerintah melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2021 Tentang Percepatan Penurunan Stunting telah membentuk Tim Pendamping Keluarga di setiap Desa atau Kelurahan yang salah satu kegiatannya adalah melakukan pendampingan, penyuluhan dan skrining terhadap kesehatan reproduksi bagi calon pengantin 3 (tiga) bulan sebelum menikah untuk mengetahui faktor resiko stunting dan upaya menghilangkan faktor resiko stunting tersebut pada anak yang akan dilahirkan nanti.

Pernikahan dengan usia yang belum tepat pada waktunya akan banyak menimbulkan masalah, baik masalah fisik maupun masalah psikologis. Oleh karena itu, dengan memberikan edukasi mengenai kesehatan reproduksi merupakan salah satu metode melindungi diri dalam upaya menghindari dampak buruk dari pernikahan usia dini.

 

 

 

Related posts

Peringati Hari Kebangkitan Nasional, Camat Bilang Begini

Pemdes Bantar Jati Bersama Masyarakat Laksanakan BBGRM XX 2023 di Dua Titik

Ini Kata Kades Agom Maryono Di Akhir-Akhir Jabatannya